Sabtu, 07 September 2013

KISAH MAS TOTOK PENGUNGSI DARI MERAPI






Liburan Nyepi tahun ini, Darrel dan kawan-kawan berlibur ke Yogya. Kunjungan ke Merapi paling berkesan baginya.
“Kenapa kog kolam lelenya kosong?Waktu terjadi letusan Merapi Mas Totok lari ke mana? Kog posko pengamatannya dibangun dekat sekali dari Gunung Merapi? Kan bahaya? Nggak boleh!”.
Rentetan kalimat di atas datang dari Darrel. Yang dituju Mas @HartantoTotok, salah satu korban letusan Merapi 2010, Sabtu sore lalu (24/3). Selain Darrel yang banyak melontarkan pertanyaan, ada Rayhan Kamajaya putra @Ray_nia, Ebhin putranya @VenturaE dan Rayhan Galih putra @Blanthik_Ayu. Empat ibu berlibur menikmati akhir pekan panjang karena Hari Raya Nyepi. Tujuan liburan yang sudah direncanakan sejak dua bulan lalu ini: Yogyakarta. Berdelapan kami menumpang kereta Argo Dwipangga berangkat dari Stasiun Gambir Jam 8 pagi, tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta Jam 4 sore. Perjalanan seru.
Wisata kuliner adalah salah satu tema penting liburan ini. Tapi liburan yang mencerdaskan juga perlu bagi anak-anak (selain kesempatan belanja tas buatan pengrajin lokal buat ibu-ibunya....;-). Keempat jagoan sempat mengeksplorasi Taman Pintar, sebuah taman hiburan sekaligus arena pengenalan dunia sains. Darrel sudah pernah berkunjung ke sini bersama ayahnya (baca http://iwan-uni.blogspot.com/2006/11/taman-pintar-yogya_08.html).



Bagi Darrel, highlight liburan bersama kawan kali ini adalah kunjungan ke Merapi. Kali ini Mas Totok yang baru saya kenal via Mas @budhihermanto, pentolan akun informasi dan komunitas @jalinmerapi, memandu kami ke posko 1 Kepuharjo, posko pengamatan Gunung Merapi. Letaknya paling dekat dengan Merapi, yakni 6 km dari puncaknya. Anak-anak (dan ibunya) sangat antusias menaiki bangunan posko ini. Sayang, saat kami ke sana, sudah sore dan kabut tebal menutupi keindahan gunung. Jadi, kami gagal melihat gunung.

Pemandangan sekitar cantik. Sejauh mata memandang kami bisa melihat bekas aliran lahar hujan di Kali Gendol, juga hamparan tanah kosong yang ditinggalkan penghuninya. Di area posko 1 Kepuharjo beberapa warung makanan siap melayani ”turis” seperti kami. Ada juga rumah yang baru diperbaiki tak jauh dari posko. ”Kog masih boleh tinggal di sini? Bahaya kan,” gugat Darrel ke Mas Totok. Waks!
Kepada kami, Totok bercerita bahwa dia adalah salah satu korban letusan Merapi. Rumahnya hancur tak berbekas. Tak ada harta tersisa. Ia menjadi salah satu penghuni Hunian Sementara (huntara) korban Merapi di Dongkelsari, Desa Wukirsari. Sebelum mengungsi, Totok dan keluarganya tinggal di Srodokan, Desa Wukirsari. “Saya dan keluarga sempat mengungsi ke Klaten saat terjadi erupsi Merapi,” kisah Totok. Darrel bertanya: “Jauh nggak Klaten?”. Kali ini saya yang menjawab, “Klaten itu kan tempat keluarganya eyang kakung. Darrel tiap tahun ke sana saat lebaran. Lumayan jauh dari sini. Sekitar satu sampai satu setengah jam perjalanan.” Darrel manggut-manggut.

Di huntara Dongkelsari ada 204 Kepala Keluarga (KK), yang masing-masing menghuni rumah terbuat dari dinding gedek (anyaman bambu) seluas 30 meter persegi. Huntara dibangun di atas tanah kas desa. Ada dua jenis huntara bagi korban letusan Merapi, yakni huntara yang dibangun secara mandiri di atas tanah milik sendiri, maupun huntara yang dibangun di atas tanah kas desa. Yang diprioritaskan pemerintah daerah adalah huntara mandiri.
Kami sempat diajak mampir ke huntara Dongkelsari Sabtu sore itu. Sejumlah orang duduk di depan huntara. Puluhan kolam ikan lele nampak kosong, ada juga yang terisi air berlumut. Kolam ikan lele itu dibuat dengan menggali tanah, dilapisi plastik terpal tebal warna biru. “Ini program dinas sosial. Tapi warga enggan melanjutkan karena baunya menyengat.” Kata Totok.
Kolam-kolam itu memang dibangun bersisian dengan huntara. Membangun kolam lele menjadi sebuah program rutin yang ditawarkan dinas sosial manakala terjadi bencana alam. Belum tentu cocok untuk warga. Kini warga huntara memilih kembali ke pekerjaan lama, menjadi penambang pasir di Kali Gendol. Jatah hidup yang pernah diterima warga paska erupsi Merapi, senilai Rp 5.000/orang/hari cuma diterima sebulan pertama setelah Oktober 2010.
Menurut Totok, huntara Dongkelsari tergolong kurang diperhatikan. Kami memang melihat nyaris tak ada aktivitas komunitas di sana. Sekolah bagi anak-anak pun agak jauh. Listrik ada. Totok membeli voucher PLN senilai Rp 5.000, bisa bertahan selama sebulan dengan pemakaian minimal. Kini dia membantu Mas @budhihermanto menjadi community organizer di Combine, sebuah gerakan komunitas di lingkar Merapi. Huntara lain relatif baik keadaannya karena dibantu oleh sejumlah perusahaan besar baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kami melihat sejumlah logo perusahaan dipasang di huntara yang ada di Desa Wukirsari. Padahal, warga huntara mulai resah karena tersiar kabar dua pekan lagi huntara mereka akan dibongkar. Di lokasi itu akan dibangun hunian tetap (huntap). “Kami belum tahu akan mengungsi ke mana? Warga ada juga yang kembali ke rumah lama yang masih bisa ditempati, atau menumpang di rumah saudaranya, “ kata Totok.
Bukan cuma Darrel yang suka mengingat kisah Mas Totok dari Merapi. Saya penasaran dengan kenyataan bahwa warga Dongkelsari resah akan dipindah. Selasa siang (27/3) saya menelpon Pak Urip Bahagia, pelaksana tugas kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman. Pak Urip menjawab dengan ramah saat saya menelpon ke ruangannya di BPBD Sleman.
Soal rencana pindah, menurut Pak Urip warga Dongkelsari tak perlu resah. Saat ini pembangunan huntap di Batur, Desa Kepuharjo sudah tahap akhir. Ada 194 rumah diperkirakan siap dihuni secara tetap pada awal April 2012.
“Prioritas pertama yang dipindahkan adalah warga Gondang 1,” kata Pak Urip. Huntap Batur dibangun di atas tanah kas desa. Awal April pula pembangunan hunian tetap Pager Jurang, Desa Kepuharjo. Akan dibangun 340-an rumah. Baik Batur maupun Pager Jurang adalah lokasi hunian baru, bukan eks lokasi hunian sementara. Tautan ini menunjukkan lokasi pembangunan huntap (http://www.mpbi.org/files/workshops/20111205-Rani-Sjamsinarsi-Pendekatan-Kultural-dalam-Relokasi.pdf).
Pemindahan warga dari huntara ke huntap akan menggunakan metode “dakon”. Ini nama permainan saat saya masih kecil. Mayoritas orang Jawa mengenalnya. Intinya, biji sawo yang digunakan untuk permainan dakon akan mengisi lobang yang kosong, susul menyusul. Jadi, jika huntap Batur selesai, akan diisi oleh warga Gondang1. Sampai Gondang 1 kosong, sehingga bisa dibangun huntap, begitu juga dengan pengisian huntam Pager Jurang. “Intinya warga Dongkelsari tak perlu kuatir,” kata Pak Urip.
Soal perhatian yang kurang, Urip malah mengeluhkan pihak pemberi bantuan yang seringkali memilih langsung ke lokasi untuk menyalurkan bantuan tanpa koordinasid dengan pemda atau instansinya. “Kalau kami di pemda, prinsipnya semua dapat perlakuan sama,” ujar Urip. Masalahnya, Dongkelsari secara lokasi memang dianggap “tidak menarik” bagi donatur untuk mengadakan acara penyerahan bantuan. Urip merasa instansinya tak memiliki kemampuan memaksa donatur untuk memperhatikan huntara yang luput dari perhatian.

“Kalau perusahaan koordasi, kami siap bantu informasi area mana yang masih perlu, mana yang sudah banyak bantuan,” katanya. Good point! Kasus seperti ini sering terjadi dalam setiap penyaluran bantuan paska bencana. Informasi Pak Urip saya teruskan ke Totok. Lewat pesan pendek via telpon seluler dia menjawab, “ok makasih infonya mbak, ini rencana jam 1 mau rapat warga shelter bahas itu.’
Kunjungan ke Posko 1 Merapi di Kepuharjo dan Huntara Dongkelsari bagi Darrel adalah pengalaman ke sekian berinteraksi dengan bencana Merapi. Sepekan setelah Merapi meletus, dua tahun lalu, Darrel saya ajak mengunjungi posko pengungsian di Magelang dan Klaten. Bersama @VenturaE dan Ebhin, kami membantu menyalurkan bantuan dari teman-teman dari komunitas Twitter.


Selain membagikan susu dan makanan, Darrel dan Ebhin berbagi buku gambar dan buku cerita untuk anak-anak. Lebaran tahun lalu, bersama sepupunya Darrel berkunjung ke kawasan yang terkena dampak Merapi di Wukirsari juga, tapi bukan lokasi yang kami kunjungi akhir pekan lalu. Di lokasi itu puluhan rumah tertimbun letusan, ditinggalkan kosong. Kunjungan yang berkesan. Dahsyatnya dampak sebuah bencana letusan gunung berapi.
Minggu malam saat belajar membuat puisi untuk tes bahasa, Darrel membuat puisi tentang Merapi. Isinya? Nanti baca di akun Facebooknya ya 

sumber:http://iwan-uni.blogspot.com

Sabtu, 20 Juli 2013

SEPUTAR ‪MERAPI : Puasa Warga Huntap Dongkelsari Kesulitan Air Bersih


SLEMAN-Selama bulan puasa sejumlah warga Srodokan penghuni Hunian Tetap (Huntap) Dongkelsari, Desa Wukirsari Cangkringan Sleman terpaksa ngangsu (mengambil air) malam hari demi mendapatkan air bersih. Karena hingga saat ini instalasi air bersih yang pembangunannya ditarget selesai pada awal 2013 lalu oleh Rekompak namun belum tersedia.
Salahsatu warga Huntap Dongkelsari yang enggan disebut namanya menjelaskan agar tidak lelah selama puasa ia dan warga lain mengambil air saat malam usai Sholat Tarawih.
Mereka mengambil air bersih di salah satu sumur masjid yang terletak di area tengah hunian serta ada dua sumur lain yang merupakan swadaya milik warga. Ketiga sumur itu untuk memenuhi kebutuhan sekitar 147 kepala keluarga dari total jumlah yang terdaftar di huntap yang sudah dihuni.
“Harus ngangsu tiap malam dua sampai tiga kali untuk air minum terutama,” ungkapnya kepada Harian Jogja, Jumat (19/7/2013).
Ia menyebutkan saat ini memang sudah dipasang instalasi air bersih dan sudah mulai keluar airnya di tiap rumah. Kendati demikian tidak bisa dimanfaat untuk air minum karena belum memenuhi standar baku. Instalasi air yang sudah tersedia berasal dari sumber kawasan SMP Cangkringan Sleman hanya bisa dimanfaat untuk kebutuhan mandi dan cuci.
Bahkan ada beberapa penduduk yang alergi dengan air tersebut sehingga menderita gatal. Air tersebut lebih cepat berubah warna cenderung kuning.
“Saya tidak kebetulan tetangga yang alergi tapi sudah sembuh. Pernah juga dicoba untuk direbus tetapi seperti ada keraknya,” ungkapnya.

Kamis, 25 April 2013

Masalah Sosial Ancaman Korban Bencana Merapi 2010 Penghuni Huntap

Paska erupsi merapi 2010, banyak program program yang ditawarkan baik dari lembaga pemerintah maupun LSM, dari program trauma healling, recovery ekonomi , sampai relokasi semua ada. Tetapi adakah yang memikirkan mereka nanti tentang masalah sosial di hunian tetap bagi yang bersedia direlokasi, ?

Jika kita sadar tentu bukan perkara mudah memindahkan suatu warga masyarakat ke suatu tempat, dan tentu saja masyarakat juga tidak mau beraktifitas diluar kebiasaan dikampungnya dulu misal, jika dulu aktifitasnya adalah mencari rumput untuk ternaknya, mencari kayu bakar dan di Hunian tetap disuruh menjahit dsb, tentu masyarakat juga tidak akan nyaman. Pola kebudayaan masyarakat yang dibangun masyarakat disuatu kampung tentu juga tidak akan bisa di aplikasikan di hunian tetap. Struktur bangunan hunian tetap pun tidak mendukung untuk memelihara binatang seperti ayam, kucing dan sebagainya karena mengganggu warga yang lain karena rumah yang cukup berdekatan, secara otomatis dengan pola dan struktur bangunan seperti itu sifat warga akan menjadi seperti orang kota yang tinggal di perumahan, konsep Hunian tetap yang dibangun untuk korban bencana merapi 2010 hanya cocok untuk orang yang bermata pencaharian sebagai pegawai, baik pegawai negeri maupun swasta, terus bagaimana dengan warga yang berprofesi sebagai petani dan peternak? Bagaimana mereka mencari rumput, bagaimana bercocok tanam, sedangkan lokasi hunian tetap jaraknya jauh jauh dengan tanah dan lahan milik warga yang berada di area terdampak langsung erupsi merapi 2010, setiap hari mereka harus mondar mandir dari huntap ke lahan mereka untuk bekerja menggarap lahannya untuk memenuhi kehidupan sehari hari.Hunian tetap korban bencana merapi 2010, memaksa masyarakat untuk adaptasi dan merubah pola kehidupan, terutama aspek sosial dan perekonomian karena tata kelola dan tata ruang bangunan yang mirip dengan perumahan di perkotaan dan lokasi juga lumayan jauh dari kampung asli, kampung yang terdampak erupsi Merapi.

Kesenjangan sosial semakin terlihat jelas di hunian tetap, jarak antara yang perekonomiannya mapan, atau yang kurang dapat kita jumpai dilokasi lokasi huntap Merapi, begitu miris jika kita memandangnya, dari kelengkapan bangunan, keindahan bangunan begitu kontras dan sangat berbeda. Dana pembangunan huntap 30 juta rupiah dari rekompak Jrf, jika untuk membangun satu huntap sampai berdiri menjadi rumah, belum di plester belum dikasih jendela dan pintu, karena anggaran banyak diserap di kerangka besinya, karena pembangunan huntap tersebut memakai konsep bangunan tahan gempa yang mengharuskan dikuatkan dibagian kerangka. Mungkin untuk yang perekonomian yang mapan, rumah yang tadinya 30 juta rupiah bisa disulap menjadi 40 – 60 juta.

Kelak masalah sosial mungkin menjadi ancaman masyarakat penghuni huntap, para pemangku kepentingan belum antisipasi ancaman tersebut, relokasi itu tak semudah membalikan telapak tangan karena butuh proses menyesuaikan diri dan itu adalah hal yang tersulit,

Sesungguhnya hidup nyaman itu tidak sama dengan hidup aman, seharusnya semua tahu. Konsep living harmony with disaster mungkin lebih tepat diterapkan di KRB di Merapi, dengan cara penguatan kapasitas terhadap risiko bencana toh selama ini jika Merapi meletus pasti akan memberi tanda, kenali ancamannya, amati tanda tandanya dan kurangi risikonya.(sondong).

Selasa, 02 April 2013

Kesenjangan sosial yang semakin terlihat di Huntap Merapi

Hunian tetap korban bencana merapi 2010, memaksa masyarakat untuk adaptasi dan merubah pola kehidupan, terutama aspek sosial dan perekonomian karena tata kelola dan tata ruang bangunan yang mirip dengan perumahan di perkotaan dan lokasi juga lumayan jauh dari kampung asli, kampung yang terdampak erupsi Merapi.

Kesenjangan sosial semakin terlihat jelas di hunian tetap, jarak antara yang perekonomiannya mapan, atau yang kurang nampak jelas, begitu miris jika kita memandangnya, dari kelengkapan bangunan, keindahan bangunan begitu kontras dan sangat berbeda. Dana pembangunan huntap 30 juta rupiah dari rekompak Jrf, jika untuk membangun huntap sampai berdiri menjadi rumah sederhana, belum di plester belum dikasih jendela dan pintu, karena anggaran banyak diserap di kerangka besinya, karena pembangunan huntap tersebut memakai konsep bangunan tahan gempa yang mengharuskan dikuatkan dibagian kerangka. Mungkin untuk yang perekonomian yang mapan, rumah yang tadinya 30 juta rupiah bisa disulap menjadi 40 – 60 juta.

Kelak masalah sosial mungkin menjadi ancaman masyarakat penghuni huntap, para pemangku kepentingan belum antisipasi ancaman tersebut, relokasi itu tak semudah membalikan telapak tangan karena butuh proses menyesuaikan diri dan itu adalah hal yang tersulit,

Sabtu, 23 Maret 2013

Gotong royong harta abadi


Srodokan 24 maret 2013 hari ini masyarakat srodokan bergotong royong lagi yaitu nggawe ruwat (gali kubur) di sasono loro lor pandan untuk almarhum Parno 40 tahun warga dusun bakalan argomulyo cangkringan sleman, meninggal dunia akibat penyakit komplikasi yang di deritanya, beliau meninggal di rumah sakit panti rini kalasan dan jenazah saat ini di semayamkan di sebelah selatan polsek cangkringan, berhubung untuk rumah/huntap yang dibangun untuk korban erupsi merapi 2010.

Meskipun bakalan sudah berbeda padukuhan dan kelurahan namun pola kegotong royongan ini sudah terbangun sejak lama. Jika warga bakalan ada yang meninggal dunia dan dikuburkan di makam pandan, maka warga srodokan yang nggawe ruwat dan jika warga srodokan yang meninggal warga pandanlah yang gawe ruwat dan seterusnya.

Satu minggu dua kali, setelah hari minggu lalu nggawe ruwat buat mbah kismo warga srodokan, dan sekarang buat ruwat lagi, salut buat masyarakat meskipun dalam keadaan tercerai berai seperti saat ini, namun secara otomatis rasa kegotong royongan masih ada, harapannya gotong royong ini menjadi harta yang abadi dan tak akan pernah habis sampai kedepannya.(TSH).


Jumat, 22 Maret 2013

Masalah sosial ancaman korban bencana merapi 2010 penghuni huntap


Paska erupsi merapi 2010, banyak program program yang ditawarkan baik dari lembaga pemerintah maupun LSM, dari program trauma healling, recovery ekonomi , sampai relokasi semua ada. Tetapi adakah yang memikirkan mereka nanti tentang masalah sosial di hunian tetap bagi yang bersedia direlokasi, ?

Jika kita sadar tentu bukan perkara mudah memindahkan suatu warga masyarakat ke suatu tempat, dan tentu saja masyarakat juga tidak mau beraktifitas diluar kebiasaan dikampungnya dulu misal, jika dulu aktifitasnya adalah mencari rumput untuk ternaknya, mencari kayu bakar dan di Hunian tetap disuruh menjahit, tentu masyarakat juga tidak akan nyaman. Pola kebudayaan masyarakat yang dibangun masyarakat disuatu kampung tentu juga tidak akan bisa di aplikasikan di hunian tetap. Struktur bangunan hunian tetap pun tidak mendukung untuk memelihara binatang seperti ayam, kucing dan sebagainya karena mengganggu warga yang lain karena rumah yang cukup berdekatan, secara otomatis dengan pola dan struktur bangunan seperti itu sifat warga akan menjadi seperti orang kota yang tinggal di perumahan.

Sesungguhnya hidup nyaman itu tidak sama dengan hidup aman, seharusnya semua tahu. Konsep living harmony with disaster mungkin lebih tepat diterapkan di KRB di Merapi, dengan cara penguatan kapasitas terhadap risiko bencana toh selama ini jika Merapi meletus pasti akan memberi tanda, kenali ancamannya, amati tanda tandanya dan kurangi risikonya. (TSH)

Minggu, 17 Maret 2013

Pentingnya kegotong royongan dan kerukunan warga


Sabtu 16 maret 2013 pukul 21.15 wib telah meninggal dunia dengan tenang Bapak kismo umur 92 tahun warga srodokan wukirsari cangkringan sleman yogyakarta, sebelum meninggal dunia beliau bertempat tinggal sementara di salah satu rumah kosong di dusun krajan wukirsari bersama istri dan anak perempuannya karena Hunian tetap yang dibangun bagi warga srodokan belum jadi.Beberapa menit setelah mbah kismo meninggal akhirnya pihak keluarga yaitu anak laki laki beliau, bapak dulhadi memutuskan untuk jenazah mbah kismo disucikan dan disemayamkan di dusun pandan di bekas rumah bapak dulhadi.



Meskipun almarhum mbah kismo alamat asal di dusun srodokan namun segala sesuatu kepengurusan jenazah dilakukan oleh warga dusun pandan wukirsari, dan warga srodokan yang menggali makam atau nggawe ruwat istilah jawanya, hal ini dilakukan karena kondisi masyarakat srodokan yang masih carut marut dan berjauhan tempat tinggalnya menyebabkan sulit untuk koordinasi. Biasanya jika warga srodokan ada yang meninggal dunia warga dusun pandanlah yang nggawe ruwat begitu juga sebaliknya. Hal itu sudah dilakukan berpuluh puluh tahun lamanya, meskipun beda padukuhan, Pandan berpadukuhan di cakran dan srodokan di gungan.
Kerukunan masyarakat tersebut tidak hanya ditunjukan oleh warga pandan dan srodokan saja tetapi srodokan wukirsari dan srodokan argomulyo juga, terbukti waktu nggawe ruwat almarhum bapak kismo warga srodokan argomulyo juga banyak yang hadir untuk gotong royong, benar benar paseduluran yang tidak terbatas wilayah administratif. Terima kasih yang sebesar besarnya buat warga dusun pandan wukirsari dan warga srodokan argomulyo.